Article Detail

PKT in Learning Design and Sharing Session Laodato Si, Warnai HSG SMP Tarakanita 4

Hari masih pagi, udara begitu segar. Di ufuk Timur terlihat matahari dengan tanpa malu-malu memamerkan paras cantiknya. Hangat sinarnya merasuk kulit seperti mengalirkan energi dan semangat baru bagi segenap insan-insan pendidik di SMP Tarakanita 4 Jakarta.

Pagi ini, Sabtu 13 September 2024, meski sebatas jumpa dan tatap muka lewat layar kaca, terlihat mereka begitu antusias dan penuh semangat bersiap mengikuti rangkaian Hari Studi Guru (HSG). Ya, HSG yang dilaksanakan sekali sebulan di tiap minggu kedua ini merupakan ajang bagi para guru untuk saling berbagi dan menimba ilmu satu dengan yang lainnya. Melalui HSG ini guru diharapkan dapat  mengupdate pengetahuan dan ketrampilannya sehingga semakin berkompeten dalam menjalankan tugas profesinya.

Dalam kesempatan HSG kali ini, terbagi menjadi dua sesi utama dengan menghadirkan dua orang narasumber yang akan memberikan materi yang berbeda. Di sesi pertama, Pak Ari Yunathan yang saat ini menjabat sebagai Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan menyampaikan materi tentang Desain Pembelajaran Pendidikan Karakter Tarakanita, sedangkan di sesi kedua Bapak Emanuel Kristiyanto menyampaikan materi tentang Gerakan Laudato Si.

Mengawali sesinya, Pak Ari menggulirkan sebuah pertanyaan yang cukup menggelitik. Apakah karakter merupakan sebuah kompetensi? Jika karakter adalah sebuah kompetensi tentu hal ini akan menjadi dasar bagi kompetensi keseluruhan siswa, bukan?

Selanjutnya, Pak Ari pun memaparkan bahwa karakter itu sesungguhnya adalah kita, sedangkan kompetensi adalah apa yang kita lakukan. Seseorang yang berkarakter tinggi dan berkompetensi tinggi tentu akan mendukung sebuah pencapaian. Sementara ketika seseorang berkopetensi tinggi namun memiliki karakter yang rendah maka hal itu akan membahayakan bagi sebuah pencapaian. Idealnya, karakter dan kompetensi hendaknya berlaku seimbang supaya mendukung sebuah pencapaian.

Ditegaskan bahwa sejalan dengan tujuan pembelajaran PKT, sesungguhnya menjadi guru Tarakanita pekerjaan yang utama adalah menanamkan dasar baik bagi peserta didiknya, selanjutnya baru memberikan ilmu pengetahuan kepada peserta didiknya.

Dilandasi EG 51: “Waktu itu kami mulai menerima anak-anak miskin, dengan maksud memberi dasar hidup yang baik dalam batin mereka, kami memberikan pelajaran agama Kristen, menjahit, berdoa, serta memberikan dorongan ke arah semangat hidup yang suci.” Itulah yang menjadi roh pembelajaran PKT yang memiliki tujuan pokok untuk membangun dasar baik pada diri peserta didik.

Secara umum dalam kesempatan ini Pak Ari menyampaikan beberapa hal terkait dengan komponen, teknik dan metode Pembelajaran PKT serta Evaluasi Pembelajaran Pendidikan Karakter Tarakanita, dan Pembiasaan dalam Pembelajaran PKT.

Di sesi kedua, Bapak Emanuel Kristiyanto berbagi pegetahuan tentang Gerakan Laudato Si. Gerakan Laudato Si mulai dicanangkan pada tahun 2015 melalui Ensiklik kepausan tentang keprihatinan dengan bumi.

Secara etimologi, Laudato Si berarti ‘puji bagimu’, dalam ensiklik Paus Fransiskus, gerakan ini mengajak umat manusia untuk menjaga, merawat, menjaga ibu bumi sebagai rumah bersama.  Gerakan ini muncul dari keprihatinan Paus dengan apa yang terjadi di bumi. Prinsipnya, Gerakan Laudata Si merupakan gerakan yang menginspirasi dan memobilisasi komunitas katholik untuk merawat bumi sebagai rumah kita bersama dan mencapai iklim dan ekologi.

Gerakan Laudato Si memiliki tujuan utama untuk mendorong masyarakat dunia untuk terlibat dalam upaya menyelamatkan masa depan bumi. Tujuan ini memiliki esensi yang sesuai dengan ajaran katholik yang senantiasa memiliki kepedulian terhadap makluk ciptaan Tuhan dan kaum miskin, mendesak manusia bertanggung jawab secara moral untuk merawat lingkungan.

Dijelaskan bahwa Gerakan Laudato Si muncul dilatarbelakangi oleh keprihatinan atas terjadinya krisis ekologi, bumi, lingkungan yang mencerminkan ketidakseimbangan hubungan antara manusia dengan alam yang sudah parah sehingga menyebabkan terjadinya panas global, kepunahan spesies, dan polusi lingkungan.

Adapun krisis ekologi sendiri terjadi akibat beberapa faktor antara lain:

Peningkatan populasi manusia. Meningkatnya jumlah penduduk membutuhkan banyak lahan sebagai sarana tempat tinggal, sarana hiburan, dan sarana pemenuhan kebutuhan ekonomi. Akibatnya lahan-lahan hijau, dan daerah-daerah resapan air pun beralih fungsi.

Faktor eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) secara berlebihan. Upaya untuk memenuhi kebutuhan manusia menyebabkan munculnya usaha secara besar-besarnya untuk mengeksploitasi sumber daya alam. Akibatnya banyak lahan penambangan muncul di mana-mana, modernisasi industri yang terjadi  dapat menimbulkan dampak polusi lingkungan.

Faktor pencemaran dan kerusakan lingkungan. Banyak tumbuhnya industri yang menghasilkan limbah dan membuangnya ke sungai dapat mengganggu kelangsungan hidup habitat sungai karena air telah tercemar. Begitu juga dengan kepadatan penduduk yang tentu disertai dengan meningkatnya produk sampah rumah tangga, jika sampah itu dibuang ke sungai tentu akan memperparah poliusi.

Jika kita amati bersama, terutama bagi kita yang tinggal di perkotaan besar, tentu pencemaran terparah yang kita rasakan adalah pencemaran udara yang tentu sangat berbahaya bagi kehidupan kita. Gas-gas karbon, metana dari kendaraan dan pabrik dapat merusak lingkungan dan kualitas udara yang tentu lambat laun akan berpengaruh pada kesehatan manusia.

Lantas, bagaimana cara mengatasi krisis tersebut?  Kita semua memiliki tanggung jawab untuk terlibat dalam menjaga, merawat bumi. Sebagai umat beriman kita memiliki tanggung jawab untuk berbuat nyata misalnya dengan tidak membuang sampah sembarangan, melakukan penanaman pohon di lingkungan kita, dan memilah-memilih sampah dllnya.

Sebagai guru di sekolah Katholik kita memiliki peran sebagai agen perubahan sekaligus tempat untuk pembentukan karakter anak, agar memiliki sikap untuk peduli dan bertanggung jawab dalam mengatasi krisis ekologi tersebut.

 Dalam konteks ini, ada beberapa hal yang perlu diupayakan yaitu; perlunya memahami bahwa pendidikan spiritual ekologis itu penting. Pendidikan spiritual ekologis dimaksudkan untuk memulihkan kembali relasi antara manusia dengan lingkungan. Selain itu, perlunya pendidikan iman tentang ciptaan Tuhan yang diharapkan dapat memulihkan kembali keseimbangan ekologis, serta perlunya melakukan pertobatan ekologis, sebuah pertobatan untyuk mengakui perbuatan yang salah, tindak kejahatan, kelalaian terhadap alam dan kemudian melakukan aksi nyata sebgai bentuk nyata dari pertobatan tersebut.

Dengan demikian, pendidikan dan spiritualalitas ekologi dirasa perlu diberikan di sekolah-sekolah dengan harapan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa kita manusia punya asal bersama dengan semua makluk, dan harus membagi masa depan dengan mereka semua. Kesadaran ini dapat melahirkan gaya hidup dan budaya yang baru.

Melalui pendidikan ekologis, peserta didik akan terbantu dalam memahami pentingnya menjaga lingkungan dan memberi pengetahuan tentang cara menjaga lingkungan yang baik sehingga pesrta didik memiliki kesadaran untuk bersikap peduli terhadap lingkungan yang diwujudkan dalam Tindakan nyata seperti; mengurangi penggunaan palstik, kertas, air, dan energi; mengumpulkan sampah, memilah, dan mendaur ulangnya; dan menggunakan bahan-bahan yang memiliki sifat ramah lingkungan.***

Comments
  • there are no comments yet
Leave a comment