Article Detail
KETIKA PEREMPUAN MENJADI SUBYEK
Pengantar
Kaum perempuan hingga masa kini seringkali hanya dijadikan obyek bagi masyarakat yang merupakan atau masih menjadi kepanjangan tangan dari sistem patriarki. Konsep menjadikan perempuan sebagai obyek ini diistilahkan dengan obyektivitas. Namun demikian, kaum perempuan tidak akan tinggal diam ketika mereka hanya dijadikan obyek oleh komunitasnya. Mereka akan melawan dengan cara antara lain memberikan resistensi dan juga melakukan negosiasi.
Pembicaraan mengenai usaha kaum perempuan yang menjadi subyek begitu hangat digelorakan dalam Sidang Terbuka Promosi Doktor Ilmu Susastra Universitas Indonesia dengan kandidat Ni Komang Arie Suwastini yang berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul Negosiasi Subjektivitas Perempuan Dalam Empat Film Jane Austen. Sidang terbuka promosi Doktor ilmu susastra ini dilaksanakan di Gedung Auditorium I Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok. Sebagai promotor dalam penyusunan disertasi ini adalah Mina Elfira, PhD. Dan Prof. Melani Budianta, PhD. Sedangkan sebagai tim penguji dalam sidang terbuka ini terdapat 6 nama lainnya, di antaranya: Dr. Susilastuti Sunarya, Dr. Jugiarie Soegiarto, Dr. Joesana Tjahjani, S.M. Gietty Tambunan, PhD, dan Aquarini Priyatna, PhD. dengan pimpinan sidang Prof. Jenny, PhD.
Ketika melihat para promotor dan juga para penguji sidang promosi Doktor ini, ada hal yang menarik yaitu kesemuanya adalah kaum perempuan, sesuai dengan tema yang di angkat oleh kandidat Doktor tersebut. Hal menarik lainnya adalah bahwa subyek penelitian adalah 4 film yang merupakan adaptasi dari novel-novel yang ditulis oleh Jane Austen. Dalam ringkasan disertasinya, Arie Suwastini menyatakan bahwa Jane Austen merupakan seorang perempuan penulis yang hidup di abad-19 di Inggris. Ada 6 buah novel yang dihasilkan perempuan penulis ini di mana seluruh novelnya berkisah tentang kehidupan perempuan kelas menengah di lingkungan pedesaan dan perkembangan hubungan mereka dengan laki-laki yang akan menjadi suami mereka. Sedangkan ke-4 film yang menjadi subyek penelitian disertasi ini adalah film-film yang diadaptasi dari novel-novel Jane Austen tersebut yang diproduksi di Hollywood pada masa peralihan abad ke-20 menuju abad ke-21 (antara tahun 1995 – 2005), antara lain: Sense and Sensibility (1995), Emma (1996), Mansfield Park (1999), dan Pride and Prejudice (2005). Arie Suwastini juga menyatakan dalam ringkasan disertasinya bahwa hingga saat ini sudah ada 16 judul film yang diadaptasi dari novel-novel Jane Austen tersebut.
Apa yang menjadi hal yang diteliti dari ke-4 film tersebut? Dalam abstraknya, Arie Suwastini menyatakan bahwa hal yang diteliti dari ke-4 film tersebut adalah framing dalam struktur mainstream Hollywood terutama dalam mengungkapkan konsep-konsep feminitas, domestisitas, dan seksualitas perempuan dalam perspektif posfeminisme.
Framing dan Pemaknaannya
Konsep framing yang dijadikan dasar dalam menganalisa ke-4 film tersebut didasarkan dari konsep teori tatapan Mulvey (1975) yang dikombinasikan dengan teori kekuasaan dari Foucault dalam konteks masa posfeminisme. Dari paparan, diungkapkan bahwa framing dalam film merupakan batasan-batasan yang bisa dilihat oleh penonton. Dalam hal ini adalah hal-hal seperti bingkai kamera ataupun screen yang dimunculkan dan dikembangkan kemudian pada proses editing. Melalui framing ini, penonton akan bisa mendapatkan gambaran tentang pengembangan karakter penokohan dalam film atau bagaimana sebuah karakter dalam film akan dimunculkan sesuai dengan pergerakan juru kamera dan/atau berdasarkan arahan sang sutradara sehingga dalam framing apa yang disebut dengan ideologi sutradara/director’s ideology sangat mungkin ada dan dirasakan dalam keseluruhan film.
Framing yang muncul dalam ke-4 film yang diadaptasi dari novel Jane Austen ini digunakan untuk melihat apakah penggambaran dalam film-film tersebut memunculkan feminitas, domestisitas, dan seksualitas perempuan dalam perspektif posfeminisme dengan tori tatapan dari Mulvey sebagai panduan analisis.
Menurut Arie Suwastini dalam disertasinya, framing yang muncul dalam ke-4 film tersebut berhasil memunculkan kesan bahwa feminisme digunakan dalam penggambaran tokoh-tokoh perempuan di dalam ke-4 film tersebut.
Obyektifitas yang Menghasilkan Represi
Dalam pendahuluan disajikan bahwa kaum perempuan lebih sering menjadi obyek dari masyarakat yang cenderung patriarki. Menjadikan perempuan sebagai obyek ini dalam disertasi Arie Suwastini disebut dengan obyektifitas. Salah seorang penyanggah dari tim penguji mempertanyakan: apakah dengan demikian obyektifitas kepada perempuan malah akan menimbulkan represi karena biasanya obyektifitas tidak akan membawa kekerasan seperti yang dialurkan dalam Cinderella’s story plot di mana disajikan bahwa perempuan itu adalah obyek yang harus selalu ditolong.
Sebagai tanggapan atas pertanyaan tersebut, kandidat Doktor Arie Suwastini menyatakan bahwa memang dalam beberapa segi perempuan seperti “dihormati” namun sering kali terlihat dengan jelas bahwa perempuan hanya menjadi obyek terutama dalam ranah domestik dan seksual sehingga pada akhirnya bagi kaum perempuan mereka mendapatkan represi.
Oleh karena mereka mendapatkan represi, maka kaum perempuan secara otomatis tidak akan tinggal diam. Respon langsung dari perempuan yang menerima represi adalah dengan melakukan resistensi dari tindakan represi yang diterimanya. Namun dalam perkembangannya, tindakan resistensi ini tidaklah cukup karena seringkali mereka akan menerima represi yang bahkan lebih keras dari sebelumnya. Sebagai kombinasi dinamis dari resistensi sebagai perlawanan terhadap represi, kaum perempuan melakukan apa yang disebut dengan negosisasi. Negosiasi dilakukan sebagai upaya lain untuk membuat represi kepada mereka berkurang atau bahkan hilang sama sekali atau bahkan menempatkan kaum perempuan tidak lagi sebagai obyek.
Negosiasi sebagai Solusi yang Efektif
Dalam usaha menempatkan diri sebagai subyek, kaum perempuan seringkali harus menghadapi represi dari komunitas di lingkungannya. Sebagai respon dari tindakan represi, kaum perempuan secara otomatis menggunakan resistensi sebagai bentuk perlawanannya. Namun ternyata hal itu belumlah cukup. Dalam perkembangannya, kaum perempuan melakukan negosisasi sebagai usaha lain untuk membuat dirinya menjadi subyek.
Dalam disertasinya, Arie Suwastini mentakan bahwa ke-4 film yang ditelitinya merupakan hasil negosiasi yang dilakukan oleh kaum feminis terhadap pemegang kepentingan di industri film Hollywood di mana pada akhirnya, menurut Arie Suwastini, terlihat bahwa penggambaran karakter dalam ke-4 film yang merupakan adaptasi dari novel-novel Jane Austen berhasil memunculkan feminitas, domestisitas, dan seksualitas perempuan dalam perspektif posfeminisme.
Konsep negosisasi pulalah yang berhasil membuat kaum feminis dapat merangkul film-film mainstream Hollywood menjadi obyek kajian yang layak karena dapat terlihat kemungkinan bahwa perempuan tak semata-mata menjadi obyek tatapan laki-laki tanpa kesempatan untuk mengartikulasikan subyektifitasnya.
Dengan strategi negosiatif ini perempuan dapat bersikap proaktif dengan memanfaatkan strategi yang sesuai dengan konteksnya sekaligus mempertanyakan batasan-batasan yang mengukung mereka.
Simpulan akhir yang bisa dilihat dari disertasi Arie Suwastini ini adalah bahwa negosisasi subyektifitas merupakan sebuah sarana yang efektif bagi kaum feminis dalam perjuangan mereka.
Penutup
Pengalaman mengikuti sidang terbuka promosi Doktor kali ini semakin membuka mata bahwa memang sudah saatnya dan sudah selayaknya perempuan untuk menjadi subyek dalam berbagai hal. Sudah saatnya pula menempatkan kaum perempuan tidak lagi menjadi obyek laki-laki tanpa memberikan kesempatan baginya untuk menjadi subyek. Negosiasi merupakan sebuah tawaran solusi untuk menjadikan kaum perempuan untuk menjadi subyek dan dalam menghadapi represi yang dihadapinya.
Ni Komang Arie Suwastini adalah Doktor ke-2 yang lulus di tahun 2015 ini dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dengan hasil “Sangat Memuaskan”. Secara khusus, saya melihat keberhasilannya dalam mengangkat tema feminisme di tengah dunia yang patriarki sekaligus membuktikan dirinya selain sebagai seorang akademisi/peneliti, ia juga berhasil menjadi membuktikan dirinya sebagai seorang ibu yang juga dibebani dengan berbagai macam tugas domestik yang tidak pernah berhenti dihadapinya.
Proficiat!
Notes:
Ni Komang Arie Suwastini merupakan teman satu kelas pelapor pada saat kuliah S1 dahulu di IKIP Negeri Singaraja – Bali (sekarang Universitas Pendidikan Ganesha – Undiksha).
-
there are no comments yet