Article Detail

Cooperative Learning

Perpustakaan sekolahku adalah sarana di mana aku dan teman-temanku belajar. Saat ini aku mendapat tugas untuk meminjam buku, membacanya lalu menuliskan isi buku tersebut agar mudah dipahami oleh orang lain. 

Judul buku                          : Cooperative Learning

                                           Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang Ruang Kelas

Pengarang                          : Anita Lie

Penerbit                              : PT Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo)

Tahun terbit                       : 2005

Kota terbit                          : Jakarta

Cetakan ke                         : 4

Anita Lie adalah seorang pakar pendidikan di Indonesia. Ia menuangkan idenya  tentang belajar kelompok -bahkan tidak sekedar belajar kelompok - pada buku karyanya ini.  Buku ini menarik karena memunculkan kekuatan yang akan diperoleh siswa saat guru atau pendamping yang bertindak sebagai fasilitator menerapkan metode ini dalam belajar.

Alur proses belajar yang umumnya dipakai adalah dari guru ke siswa. Guru lebih banyak menjelaskan dan siswa mendengarkan. Namun, alur proses belajar tidak harus dari guru ke siswa. Antar siswapun dapat saling mengajar. Bahkan, banyak penelitian menunjukkan bahwa pengajaran oleh rekan sebaya (peer teaching) ternyata lebih efektif dari pada pengajaran oleh guru. Sistem pengajaranyang memberi kesempatan pada siswa dalam tugas-tugas terstruktur disebut sebagai sistem ‘pembelajaran gotong royong’ atau cooperative learning.

Sesungguhnya, bagi guru-guru di negeri ini metode gotong royong ini tidak terlampau asing dan mereka sering menyebutnya sebagai metode kerja kelompok. Tidak bisa disangkal bahwa banyak guru telah sering menugaskan para siswanya untuk bekerja dalam kelompok. Sayangnya, metode kerja kelompok sering dianggap kurang efektif. Jika kerja kelompok tidak berhasil siswa cenderung saling menyalahkan. Sebaliknya jika berhasil, muncul perasaan tidak adil.  Siswa  yang rajin merasa rekannya yang kurang mampu telah membonceng pada hasil kerja mereka. Akibatnya, metode yang seharusnya bertujuan mulia, yakni menanamkan rasa persaudaraan dan kemampuan bekerja sama, justru bisa berakhir dengan ketidakpuasan dan kekecewaan.

Berbagai dampak negatif tersebut seharusnya bisa dihindari jika saja guru mau meluangkan lebih banyak waktu dan perhatian dalam proses pengerjaan tugas.Yang diperkenalkan dalam metode cooperative learning bukan sekedar kerja kelompoknya, melainkan pada penstrukturannya. Jadi, sistem pengajaran cooperative learning bisa didefinisikan sebagai sistem belajar kelompok yang terstruktur. Yang termasuk di dalam struktur itu ada lima unsur pokok (Johnson & Johnson, 1993) saling ketergantungan positif, tanggung jawab individu, interaksi personal, keahlian bekerja sama, dan proses kelompok.

Pengelompokan heteregonitas (kemacamragaman) merupakan ciri-ciri yang menonjol dalam metode ini. Kelompok heterogenitas  dapat dibentuk dengan memperhatikan keanekaragaman gender, latar belakang agama, sosio-ekonomi , etnik, serta kemampuan akademis. Dalam hal kemampuan akademis, kelompok pembelajaran cooperative learning biasanya terdiri dari satu orang berkemampuan akademis tinggi, dua orang berkemampuan akademis sedang, dan satu lainnya dari kelompok akademis kurang.

Jika sekolah mempunyai tujuan untuk menghasilkan manusia yang bisa berdamai dan bekerja sama dengan sesama, metode cooperative learning perlu lebih sering dipakai. Suasana positif yang timbul dari metode pembelajaran cooperative learning bisa memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencintai pelajaran dan sekolah/guru. Dalam kegiatan-kegiatan menyenangkan ini, siswa merasa lebih terdorong untuk belajar dan berpikir.
(Carrisa Angelia, 9 Compassion)
Comments
  • there are no comments yet
Leave a comment